Ibu yang Luar Biasa, adalah cerita yang saya persembahkan dihari ulang tahun ibu saya yang ke 76 tahun sebagai ungkapan terimakasih. Beliau adalah seorang ibu yang sangat sederhana tetapi penuh semangat juang yang tiada hentinya demi anak-anaknya. Mungkin kalau ditulis akan berlembar lembar tak terbatas. Ini hanya sebagian kecil saja yang bisa saya tulis. Semoga dihari ulang tahunnya, beliau tetap sehat, bahagia dan sejahtera selalu. Dengan tekun berdoa, berbuat baik dan tidak lupa selalu bergerak berolah raga sesuai usia, menjadikan jiwa dan raganya tetap terjaga diusianya.
Pada tahun 1947, tepatnya pada tanggal 10 Oktober, seorang bayi perempuan lahir di sebuah desa kecil di daerah Sleman Yogyakarta. Desa itu terletak jauh dari hiruk pikuk perkotaan, karena pada waktu itu memang belum ada transportasi seperti sekarang. Jalan-jalan masih belum beraspal. Jalan itu berbatu tidak rata dan becek ketika hujan. Disebelah kanan kiri jalan itu terhampar sawah yang cukup luas, salah satu tepinya ada sungai kecil untuk irigasi sawah. Airnya bening dan dasarnya kelihatan. Banyak ikan-ikan kecil seperti ikan Sili, Kepala Timah dan Sepat berenang ketepian. Keluar dari desa Karang, orang berjalan melewati jembatan sungai yang agak besar namanya Nggejlik. Pada saat hari pasaran, jalan itu amat ramai. Masih pagi buta orang-orang desa itu keluar rumah untuk pergi ke pasar Jangkang membeli kebutuhan harian. Semua berjalan kaki menuju pertigaan Kenthi, karena belum banyak kendaraan bahkan sepedapun masih jarang. Sambil bercakap-cakap orang-orang desa tersebut berjalan menyusuri jalan itu menuju pasar yang kurang lebih 2 kilo meter jaraknya. Begitu suasana jalan memasuki desanya. Bayi itu diberi nama Siti Sutilah. Ia anak pertama, keluarganya memanggilnya Suti, dan 3 adiknya yaitu Mujirah, Suyatmi dan Suratmi atau Gotri panggilannya. Bapaknya seorang serdadu angkatan 45 berpangkat kopral kepala waktu itu. Suti kecil dididik dengan disiplin oleh bapaknya, Marto wahab, tetapi ibunya, Siti Sugiyah lugas, murah hati dan sederhana seperti orang desa pada umumnya. Siapapun yang berkunjung dirumahnya seringkali dijamu dengan minum dan makan, meski dengan memasak lebih dulu.
Dan siapa yang tahu kelak Suti akan menjadi pahlawan dalam cerita kehidupannya sendiri. Waktu berganti Suti kecil menjadi perempuan muda yang cantik, ramah dan ceria. Tubuhnya yang tinggi semampai dengan rambut panjang dikepang sampai di pinggang. Sungguh pemandangan yang sangat menarik ketika orang melihatnya. Ia juga seorang penari, bahkan pernah menari untuk menyambut bapak Presiden Sukarno waktu itu. Tetapi sayang ia hanya menyelesaikan pendidikannya di SMP. Lalu takdir cinta anak manusia mengubah jalan masing-masing.
Pada usia yang relatif muda, Suti memutuskan untuk menikah dengan Amir Sutikno, pria idaman yang dicintainya. Ia seorang PNS lulusan STM yang memiliki gaji pas-pasan bahkan kurang. Mereka memulai hidup bersama dengan penuh cinta dan kesederhanaan.
Kemudian Suti mengikuti suaminya yang bekerja sebagai PNS di ketentaraan. Hidupnya sering berpindah-pindah mengikuti kantornya. Kadang diasrama Batalion, kadang di luar asrama dengan membeli rumah atau menyewa. Seiring berjalannya waktu Suti dan suaminya segera dikaruniai anak pertama, kedua, ketiga, keempat kelima sampai dengan ke sembilan. Anak ke tiga meninggal sesudah dilahirkan namanya Dimas. Sedangkan anak ke 7 keguguran ketika masih 5 bulan dalam kandungan. Pada waktu itu baru diperkenalkan sistim Keluraga Berencana (KB) tetapi banyak yang gagal, sehingga jaman dulu banyak keluarga memiliki banyak anak, berbeda dengan sekarang.
Setiap malam sebelum tidur sekitar jam tujuh malam, Suti sering mendongengkan cerita untuk anak-anaknya, mulai dari Si Kancil sampai dengan cerita karangannya sendiri. Ia ingin anak-anaknya tidak main terlalu jauh. Maka ia memperkenalkan bahaya- bahaya yang mungkin bisa mengancam seperti cerita dalam Si Kancil. Ia juga ingin anak-anaknya memiliki nilai kemanusiaan dan moral yang baik. Disamping itu ia ingin anak-anaknya memiliki sikap keberanian, kebijaksanaan dan tangguh tidak mudah putus asa dalam menghadapi rintangan. Maka Suti mengarang cerita lisan untuk anak-anaknya sebelum tidur. Dapat dibayangkan satu tempat tidur untuk beberapa anak yang kecil-kecil, semua mengumpul di satu tempat asik mendengarkan dan kadang bertanya lalu akhirnya tertidur pulas.
Ada cerita ketika anaknya ke dua ingin membeli sepatu sandal hitam bertali-tali yang modelnya seperti di jaman nabi-nabi seperti di film -film. Lalu ia meminta ibunya menemaninya. Suti memboncengkan anak perempuannya dengan sepeda jengki, kurang lebih 7 kilometer dari Asrama Yonif 406 tempat tinggalnya waktu itu. Sampai di toko sepatu, Suti memarkir sepedanya dan menanyakan uangnya, sambil menuntun anaknya. Dan anaknya bilang uangnya ada di meja makan dirumah, ia pikir sudah diambil ibunya. Ternyata uangnya ketinggalan. Uang itu adalah hasil tabungan anaknya. Akhirnya merekapun pulang kembali tanpa hasil. Anaknya sedih dan merasa bersalah. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan.
Untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari Suti berjualan sembako. Rumah dengan ukuran 36 m2 dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu dipakai untuk berjualan barang kelontong seperti; beras, gula, kopi, teh, minyak, dan lain-lain. Kemudian tanah sekitarnya ditanami dengan polowijo seperti; bayam, terong, sawi, lombok, dan lain-lain. Pada tepi bedengan ditanami ubi jalar atau ubi kayu. Ia sudah menerapkan menanam dengan cara Tumpangsari. Sehingga keluarganya tidak begitu kesulitan dalam hal makan.
Ketika pindah rumah lagi ia pun memulai hal baru, seiring dengan anak-anaknya yang mulai tumbuh dan kebutuhan sekolah anak-anaknya menjadi perhatiannya. Kakinya seakan tidak pernah lelah untuk melangkah, Suti berjualan baju, celana, jarik, dan lain-lain untuk dipasarkan dari rumah ke rumah disekitarnya. Dagangannya dikreditkan atau dijual dengan mengangsur beberapa kali. Ia tidak pernah malu untuk melakukan hal-hal yang dianggap remeh demi keluarganya, yang penting uangnya halal untuk dimakan keluarganya. Ketika anak-anaknya mulai masuk kuliah di Jogja, Suti berjualan Nasi Senerek di Kios Pasar Gotong Royong Magelang. Segala peluang diambilnya untuk menambah penghasilan keluarga. Setiap Sabtu anaknya yang pertama dan ke dua pulang dari Kos untuk minta uang, dan hari Senin berangkat lagi ke IKIP Jogja pada waktu itu. Ia dan suaminya berpendapat bahwa pendidikan anak-anaknya adalah penting bagi masa depan mereka.
Meskipun Suti sebagai ibu rumah tangga tapi waktunya tidak ada yang sia-sia. Keuletannya dalam mengisi waktu melahirkan inovasi-inovasi baru, selalu ada inspirasi untuk melakukan sesuatu yang berguna. Biasanya mulai dari memotong rambut, menjahit baju anak-anaknya, membuat camilan dan semua pekerjaan rumah tangga dilakukan sendiri. Al hasil anak-anaknyapun menghargai jerih payahnya dengan sekolah yang baik, berprestasi dan tidak membuat masalah.
Keempat anaknya mulai dari yang pertama namanya; Nunung, Nining, Kelik, Wawan, pernah mengenyam di Kampus IKIP Negeri Yogyakarta. Nomor lima, Indra wiraswasta di Jakarta. Dan nomer enam, Candra lulusan Komputer di Jakarta. Sedangkan yang nomer tujuh, kuliah diperhotelan, yang akhirnya bekerja di kapal pesiar.
Semua anaknya sekarang sudah berkeluarga. Memiliki menantu bermacam -macam, ada yang Batak, Melayu, Tiong Hua dan Jawa, semuanya rukun dan berhubungan baik. Masing- masing bersama keluarganya hidup dengan baik. Empat anak dan keluarganya tinggal di Bekasi. Dan tiga anak beserta keluarganya tinggal di Yogyakarta berdekatan dengan rumah Suti dan suaminya.
Namun, hidup tidak begitu mudah bagi Suti, tanggal 22 Januari tahun 2016, suami yang sangat dicintainya meninggalkannya. Setelah bertahun-tahun berjuang bersama selama ini. Tetapi, Ia tidak merasa sendirian, ke tiga anaknya bersama keluarganya berada disekitarnya dalam satu RT. Suti tinggal di rumah yang dulu ditempati puluhan tahun bersama suaminya. Ia bahagia karena Ia berdekatan dengan anak sulung, anak kedua dan anak bungsu beserta keluarganya masing-masing. Suti bersyukur dengan kemampuan pendidikan yang terbatas, Ia telah berjuang keras mengantarkan anak-anaknya supaya dapat hidup mandiri. Banyak hal yang sudah ia lakukan bagi keluarganya.
Kini usianya 76 tahun, pendengarannya sudah berkurang, matanya sudah tidak begitu awas tanpa kaca mata, dan jalannya sudah harus pelan dan hati-hati namun semangatnya tetap menyala. Suti tetap bahagia dalam usia senjanya, dikelilingi oleh keluarga yang mencitainya. Meski tidak punya harta tetapi Ia merasa kaya, Ia telah memiliki tujuh anak, tujuh menantu, 15 cucu dan mau 5 cicit. Suti terus mendukung anak-anaknya, memberikan teladan tentang betapa pentingnya mencintai dan merawat keluarga. Ia adalah bukti nyata bahwa cinta, ketabahan, dan tekad bisa mengatasi segala keterbatasan. Maria Magdalena Siti Sutilah (nama lengkapnya) adalah ibu yang luar biasa yang telah berhasil menyelesaikan perjuangannya membesarkan ketujuh anaknya dengan baik dan menciptakan generasi muda yang baik pula. Kebahagiaan itu relatif. Tetapi bahagia itu sangat personal dan hakiki, bukan masalah seberapa banyak hartamu, bukan seberapa tinggi pangkatmu, bukan pula seberapa terkenal atau populer di masyarakat. Bahagia itu ada di dalam hati yang damai dan suka cita dimanapun berada, bersama orang-orang disekitarnya.
Demikianlah Ibu yang Luar Biasa selalu dihati orang-orang yang mengenalnya.
Sahabat bumagda yang budiman, anda semua dapat memiliki cerita yang beraneka macam perjuangan orang-orang dekat kita dalam buku Antologi dengan tema Kisah Perjuangan Mendidik dan Membesarkan Anak. Yuk kita tunggu tanggal terbitnya untuk melengkapi perpustakaan kita.
terima kasih, matur nuwun dene sampun kersa nyerat lan paring ‘share’ catatan /dokumentasi hidup yg tak diajarkan di lembaga pendidikan formal. Nyuwun pangapunten, basa campuran.
maturnuwun kawigatosanipun